Oleh: Hety Juniawati
“Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.”(‘Abasa: 21)
Kematian
merupakan wasilah antara taklif dengan pembalasan, maka urusan kematian
(kesudahan) berada di tangan Zat yang telah menciptakan dan mengakhiri
kehidupan tergatung dari kehendak-Nya. Dalam ayat ini, ketika seseorang
meninggal dunia Allah memerintahkan kepada manusia yang hidup supaya
segera dikuburkan. Dalam ayat ini disebutkan فاقبرة yang maknanya
perintah untuk menguburkan bukan mengubur diri sendiri (قبر).
Menguburkan mayat merupakan sunnah Islam dalam memperlakukan mayat, juga
merupaka bentuk kemuliaan dan penghormatan terhadap manusia yang telah
meninggal, yang mana mayat tidak dibiarkan tercampak tergolek di muka
bumi sehingga akan tercium baunya, juga tidak akan dimakan burung-burung
dan hewan lainnya. Atau ada juga sebagian masyarakat yang membakar
mayat ini merupakan perlakuan yang bertolak belakang dengan memuliakan
mayat.
“Kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali.”(‘Abasa: 22)
Setelah
Allah menciptakan manusia secara mengagumkan, lalu menghidupkan lalu
mati, setelah itu dibangkitkan dalam kuburnya. Disini Manusia tidak
dibiarkan dengan sia-sia, lenyap tanpa perhitungan dan pembalasan,
tetapai akan ada perhitungan dan pembalasan sehingga menuntut kita
cerdas dalam menghadapi hari esok setelah mati. Dalam ayat ini
disebutkan "bila Dia menghendaki" menunjukan bahwa kebangkitan sudah
pasti akan terjadi, tetapi masa apabila akana dibangkitkan hanya Alllah
yang Maha Tahu. Itu adalah terserah mutlak kepada kekuasaan dan kehendak
Allah, walaupun banyak zaman sekarang yang memprediksi dan meramal hari
kebangkitan.
“Sekali-kali jangan, manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. “ (‘Abasa: 23)
Sekali-kali
tidak! Sesungguhnya manusia ini masih banyak kekurangannya, belum
menunaikan kewajibannya, belum mengingat dan menyadari asal usul dan
kejadiannya dengan sebaik-baiknya, serta belum bersyukur kepada
Penciptanya, Pemberinya petunjuk, dan Pemberinya jaminan dengan syukur
yang sebenar-benarnya. Mereka juga belum melaksanakan perjalanan di muka
bumi untuk mencari persiapan guna menghadapi hari perhitungan dan
pembalasan. Demikianlah mereka secara umum, belum melaksanakan dengan
sesungguhnya apa yang diperintahkan Allah kepadanya hingga akhir masa
hidup mereka. Isyarat ini menggunakan kata ‘belum’.
‘Hendaklah manusia memperhatikan makanannya. “ (‘Abasa: 24).
Dalam
ayat ini kita diperintahkan untuk memperhatikan nikmat luar biasa yang
diberikan Allah yaitu makanan, kebanyakan manusia lalai memperhatikan
makanannya? Padahal, semua ini adalah salah satu dari sekian hal yang
dimudahkan untuknya oleh Sang Maha Pencipta.
Makan adalah sesuatu
yang paling lekat dekat dan selalu ada pada manusia. Kita ketahui bahwa
allah tidak memberikan satu macam makanan, tetapi sangat beragam
makanan telah allah berikan kepada kita. Dalam ayat ini tidak disebutkan
satu macam
tetapi ada ada huruf "ف لتفريع " artinya berbagai macam makanan yang Allah berikan kepada manusia .
Tidak
hanya memperhatikan bagaimana dengan mudahnya Allah memberikan nikmat
makanan kepada kita, tetapi kita juga mesti memperhatikan apakah makanan
yang akan kita konsumsi halal atau haram, thayyib, karena dari makanan
haram dengan cara yang tidak islami yang masuk kedalam tubuh tempatnya
berada di neraka.
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit).”(‘Abasa: 25)
صب
maknanya menurunkan air dengan banyak. Air merupakan sumber kehidupan,
kebutuhan primer bagi setiap makhluk hidup. Semuanya berawal dari air.
Tidak seorang pun yang mengira bahwa Allah telah menciptakan air ini
dalam berbagai bentuknya dan dalam berbagai cerita kejadiannya. Mereka
tidak mengira bahwa Allah telah mencurahkannya ke bumi dengan
sungguh-sungguh, supaya cerita makanan ini berjalan sesuai alurnya.
“Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya.” (‘Abasa: 26)
Ini
merupakan kelanjutan tahapan pencurahan air. Kisah ini sangat layak
dikemukakan kepada manusia yang mula-mula melihat air tercurah dari
langit dengan kekuasaan yang bukan kekuasaan dirinya, dan dengan
pengaturan yang bukan dia pengaturnya. Kemudian dia melihat bumi merekah
dan tanahnya mengembang. Atau, ia melihat tumbuhan membelah bumi
(tanah) dengan kekuasaan Yang Maha Pencipta tumbuh menurut cara dan
bentuknya, dan berkembang di udara di atas kepalanya.
Benih
tanaman itu kecil dan kurus, sedang bumi (tanah) di atasnya (yang
menindihnya) adalah berat dan berat Tetapi, tangan yang mengaturnya
membelahkan bumi untuknya dan membantunya tumbuh menerobos timbunan
tanah itu. Padahal, benih (tanaman yang masih berupa bakal batang, bakal
daun dan sebagainya) itu kecil, lemas, dan lembut. Ini adalah suatu
keajaiban luar biasa yang dapat dilihat oleh setiap orang yang mau
merenungkan terbelahnya tanah diterobos oleh tumbuh-tumbuhan untuk
tumbuh. Juga dapat dilihat oleh setiap orang yang merasakan adanya
kekuatan yang mutlak di baliknya, kekuatan yang halus dan tersembunyi
dalam tumbuhan yang lembek dan lemas itu.
8 kenikmatan yang Allah berikan kepada kita (ayat 27-31)
”Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.” (‘Abasa: 27)
Ini
meliputi semua biji-bijian yang dimakan oleh manusia dalam semua
wujudnya dan dimakan oleh binatang dalam semua keadaannya. Contoh
gandum, jagung, padi.
“Anggur dan sayur-sayuran. “ (‘Abasa: 28)
“Inab
” atau anggur itu sudah popular rasanya yang manis, bentuknya yang
menarik dan khasiat yang luar biasa untuk kesehatan dan kecantikan , dan
“gadhb” adalah segala sesuatu yang dimakan dalam keadaan basah dan
lembab yang berupa sayuran yang dipotong sekali sesudah kali
lain.contohnya ketimun.
“Zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan.” (‘Abasa: 29-31)
Zaitun
dan kurma sudah sangat populer di kalangan orang Arab. ‘Hadaaiq’ adalah
bentuk jamak dari “hadiiqah”, yakni kebun-kebun yang memiliki
pohon-pohon buah yang dipagari dengan pagar untuk melindunginya.
“Ghulban ” adalah jamak dari ghulba’, artinya besar, luas, dan banyak
pepohonannya. Buah-buahan dari kebun-kebun dan “al-abb” yang menurut
dugaan kuat adalah sesuatu yang dimakan oleh binatang ternak (yakni
rerumputan). Inilah yang ditanyakan oleh Umar ibnul-Khaththab tetapi
kemudian dia mencela dirinya sendiri sebagaimana disebutkan dalam
membicarakan surah an-Naazi’aat, dan kami tidak menambah pembicaraan
lagi tentang ini.
“Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.”(‘Abasa: 32)
Sehingga,
berakhirlah semua kesenangan ini pada suatu masa, yang telah ditentukan
Allah ketika Dia menentukan kehidupan. Setelah itu terjadilah urusan
lain sebagai akibatnya Suatu urusan yang sudah selayaknya direnungkan
manusia sebelum terjadi.
Referensi : berbagai sumber
0 komentar:
Post a Comment