Karya Imam An Nawawi
Oleh : Hety Juniawati
Oleh : Hety Juniawati
وَعَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ العُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزَاحِ بْنِ عَدِي بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبٍ القُرشِيِّ العَدَوِيِّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - ، قَالَ : سَمِعتُ رَسُولَ اللهِ - صَلَى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ - ، يقُوْلُ : (( إنّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )) . مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ . رَوَاهُ إمَامَا الْمُحَدّثِينَ ، أبُو عَبْدِ الله مُحَمَّدُ بْنُ إسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ المُغيرَةِ بنِ بَرْدِزْبَهْ الجُعْفِيُّ البُخَارِيُّ ، وَأَبُو الحُسَيْنِ مُسْلمُ بْنُ الحَجَّاجِ بْنِ مُسْلمٍ الْقُشَيْرِيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فِي صَحيِْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الكُتبِ الْمُصَنَّفَةِ. (مُتََّفَقٌ عَلَيْهِ).
Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Hanyasanya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan hanyasanya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori (Bukhari) dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi (Muslim), dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) .
Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Hendaknya hadits ini dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar’i.” Hadits ini merupakan salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat dalam hati, ucapan dan tindakan.
Asbabul wurud :
Ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama : “Ummu Qais” bukan untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).
Penjelasan hadits :
1.إنّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ “Hanyasanya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya”
Berdasarkan ilmu balaghah lafadz “إنّمَا” merupakan salah satu lafadz yang berfungsi الحصر yaitu pembatas. Pembatasan disini mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat.
Definisi Amal الأعمال adalah bentuk jamak dari العمل, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf (yang terbebani). Maksud amal dalam hadits tersebut adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, amalan hati, dan amalan anggota tubuh sesuaio syari’at, sehingga setiap amal yang disyari’atkan dan dilaksanakan tanpa niat, maka tidak ada nilainya menurut agama islam. Dengan demikian shalat, shaum, wudlu dan seluruh ibadah yang lainnya tidaklah bernilai ibadah (tidak sah) tanpa adanya niat.
Definisi niat النِّيَّاتِ adalah keinginan dan kehendak hati untuk melakukan sesuatu, dan tempatnya adalah di hati, karena niat adalah amalan hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan. Maka niat yang dimaksud dalam hadits ini adalah keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah (ridha) Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الإرادة dan terkadang dengan lafadz الابتغاء atau lafadz lain yang semisalnya.
Seperti firman Allah (QS. Ar Ruum: 38): لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.”
(QS. Al Lail: 20): إِلا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأعْلَى “Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi.”
Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz الإرادة, lafadz الإبتغاء atau lafadz الإسلام yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.
Para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
1. Niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri, niat sebagai syarat sahnya ibadah. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka “Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat” yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri, sebagai syarat sahnya ibadah sehingga dapat dibedakan dengan ibadah yang lain. Contoh niat shalat dan wudlu akan berbeda.
2. Niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan) sebagai syarat diterimanya ibadah, atau sering dinamakan dengan الإخلاص, yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah ‘azza wa jalla.
Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini.
Niat memiliki 2 fungsi:
1. niat itu berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan (rutinitas). Contohnya : seseorang makan karena lapar untuk memenuhi kebutuhan perut, dan seseorang yang makan karena berlandaskan perintah Allah “makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (al A’raaf : 31). Dari contoh diatas, maka orang yang pertama makan karena kebiasaan dan orang yang kedua makan menjadi ibadah karena memenuhi perintah Allah.
2. niat itu berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya. Contoh : seseorang yang melaksanakan shalat dua rakaat dengan niat sholat sunnat, seseorang yang yang lain dua rakaat dengan niat sholat wajib. Maka kedua amalan tersebut dibedakan dengan niat tersebut.
Amalan apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya terbagi dua :
Pertama, amalan yang hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah (ridha) Allah dan tidak boleh diiringi dengan niat untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian besar perkara ibadah.
Kedua, perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan denganmmenyebutkan ganjarannya didunia, sepertimmenyambung kekerabatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam "Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia menyambung kekerabatan."(HR. Bukhari nomor 1925, 5526) Atau seperti sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam "Barang siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi miliknya." (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad Darimi 7/436; Ibnu Hibban 14/119, 20/199) Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran di dunia. Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di dunia (di samping mengharapkan niat mencari wajah Allah), karena Allah tidak mungkin menyebutkannya kecuali Allah telah mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi seseorang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah namun dia juga mengharapkan agar mendapatkan ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Atau seseorang berjihad untuk mendapatkan ghanimah dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak termasuk sebagai syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan.
Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada seseorang yang menyambung kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh karenanya, para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal ini, maka beliau menjawab, "Pahalanya sesuai dengan kadar niatnya." Niat untuk mendapatkan dunia ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya berkurang sesuai kadar niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada kepada Allah, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.
Maka maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam إنما الأعمال بالنيات adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat, yaitu niat yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah semata.
2.وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى “Dan hanyasanya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”.
Maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya. Bisa jadi, suatu perkara –yang pada asalnya- mubah bisa menjadi amalan ketaatan jika seseorang meniatkannya sebagai amalan kebaikan. Misalnya, ia meniatkan makan dan minumnya untuk menambah kekuatan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, Nabi bersabda,
“Makan sahurlah, sesungguhnya pada makanan sahur itu terdapat berkah.” (Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shaum/1923/Fath], Muslim di dalam [Ash Shiyam/1095/Abdul Baqi])
3. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “
Makna Hijrah secara bahasa meninggalkan. Secara syariat adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah berhijrah kepada Allah 'azza wa jalla dengan ikhlas, mengharapkan pahala di sisi-Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa.
Dalam islam hijrah ada Tiga macam :
Berpindah dari negara kafir (syirik) kepada negara islam (tauhid), sebagaimana hijrahnya para sahabat dari Makkah ke Madinah. Hukumnya di bagi menjadi dua :
Wajib : jika seseorang tidak mampu melaksanakan agamanya.
Mustahab : jika seseorang dapat menjalankan agamanya.
Berpindah dari negara yang diliputi ketakutan kemaksiatan kepada negara yang aman, sebagaimana hijrahnya para sahabat dari Makkah ke Habasyah
Meninggalkan negeri bid’ah menuju negeri sunnah. Yaitu Berhijrah dari segala yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla, sebagaimana hadits yang dikeluarkan Imam Bukhori dari hadits Abu Nu’aim, Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam : seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah.
Amal hijrah ini terus berlaku hingga akhir zaman, sebagaimana hadits yang dikeluarkan Imam abu daud dari hadits muawiyah rhodhiallahu’anhu, Rasulullah sholallahu’alaihi wasallam : tidaklah terputus hijrah sampai terputus taubah, dan tidaklah terputus taubat sampai matahari terbit dari arah barat.
Dalam hadits ini, Nabi Muhammad shollallahu’alaihi wasallam memberikan perumpamaan suatu amalan yang dikerjakan dengan mengharap wajah Allah (ikhlas lillahi Ta’ala) dan amalan yang dikerjakan dengan mengharap kepada selain Allah, amalan tersebut adalah Hijrah.
Sebagian manusia berhijrah menginggalkan tempat tinggalnya ikhlas mengharap ridho Allah, maka hijrah ini dinilai suatu amalan yang mendapat balasan sempurna, dan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan. Sebagian manusia berhijrah karena tujuan dunia, barang siapa berhijrah dari negara kafir ke negara muslim karena uang, atau karena wanita yang hendak ia tuju, maka hijrahnya tidak karena Allah, maka rasul bersabda : maka hijrahnya sesuai dengan apa yang di tuju.
Yang tersirat dalam hadits ini juga adalah Ancaman dan peringatan akan fitnah dunia dan wanita. Allah ta’ala berfirman :"Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah."
Dikeluarkan Imam Bukhori dan Muslim dalam kedua kitabnya shohih dari sahabat Abu sa’id al khudry rhodhiallahu’anhu, Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam bersabda : sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian sesudahku adalah dibukanya kekayaan dunia
Hadits dari Abu sa’id yang dikeluarkan Imam muslim, Rasulullah sholallahu’alaihi wasallam bersabda : takutlah kalian akan fitnah dunia dan fitnah wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani israil adalah wanita.
Wallahu'alam.
Pelajaran yang terdapat dalam Hadits / الفوائد من الحديث :
Niat merupakan syarat syah/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (Niat Ibadah., karena Allah dan mengikuti perintah Allah.).
Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah. Karena amal tidaklah diterima kecuali dengan dua syarat : yaitu ikhlas hanya kepada Allah Azza wa Jalla dan mengikuti (sesuai sunnah) Rasul shallallahu’alaihi wasallam, sebagaiman hadits ‘Aisyah radhiallahu’anha ((barang siapa yang beramal dengan amalan yang tidak ada contohnya (sebagaimana dicontohkan rosul) maka amalnya tertolak))
Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah. Karena yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
Wallahu a’lam bish-shawab
Marâji’ :
1.Alqurân dan terjemahnya.
2.riyadhu shalihin, karya Imam Nawawi.
3.Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Ibnu Daqiqil ‘Ied
4.Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
5.http://www.pernikmuslim.com/kedudukan-niat-dalam-amal-penjelasan-hadits-arba8217in-pertama-1-a-422.html. www.muslim.or.id
6.URL http: //ulamasunnah. wordpress. Com
0 komentar:
Post a Comment